Jumat, 22 Mei 2020

Cara Kerja Rangkaian Power Supply Dengan Transistor Sebagai Power Final Driver


SWITCH MODE POWER SUPPLY (SMPS)

Dinamakan Switch Mode Power Supply (SMPS) karena sistem kerjanya menggunakan metode switching (pensaklaran) yaitu menghidup matikan tegangan yang masuk ke dalam trafo dengan peralatan/komponen elektronik dengan frekuensi tertentu. Sedangkan nama AC-matic diambil dari salah satu kelebihan dari SMPS yaitu kemampuan power supply bekerja dengan rentang tegangan masukan yang lebar. Pada beberapa jenis smps, mampu bekerja pada tegangan masukan antara 90 s/d 265V dengan output yang sama dan stabil. Karena kelebihan tersebut, smps menjadi auto-voltage regulator atau wide range input regulated power supply (secara mudahnya disebut AC-matic).
Rangkaian power supply jenis ini banyak ditemukan pada tv digitec/polytron jadul dan sebagian  tv keluaran china.

1.Line Filter

Line filter befungsi sebagai filter tegangan masukan, tujuan utamanya untuk menghilangkan frekuensi-frekuensi liar dari line/jala-jala listrik (selain frekuensi tegangan AC masukan) yang dimungkinkan bisa mengganggu kerja dari smps. Line filter dibentuk dari induktor-induktor dan kapasitor-kapasitor yang dipasang secara seri terhadap tegangan masukan.


Tegangan AC220V masuk melalui Line Filter yang terdiri dari C501, R501 dan L501. 

2. Rectifier ( Peyearah )

Blok penyearah berfungsi sebagai penyearah tegangan AC menjadi tegangan DC. Komponen-komponen penyearahan terdiri dari dioda-dioda dan elco. Dioda berfungsi sebagai penyearah dan elco befungsi sebagai filter untuk menghilangkan denyut ripple pada tegangan DC yang dihasilkan selain kapasitor-kapasitor yang dipasang paralel terhadap dioda. Jenis penyearahan pada umumnya menggunakan metode bridge rectifier, yang mempunyai kelebihan pada tingginya isolasi antara tegangan DC yang dihasilkan dengan tegangan AC masukan.
Tegangan masukan sekitar 220VAC setelah disearahkan dan melalui elko berubah menjadi sekitar 1,4 x 220 = 308VDC. Jika elko pada penyearah kering, tegangan 308VDC tersebut menjadi tidak tercapai sekaligus terdapat ripple. Akibat terburuknya adalah smps menjadi lebih panas (karena berusaha menstabilkan output dan terganggu bentuk pulsanya oleh DC ripple). Cara termudah mendeteksi ini adalah dengan mengukur tegangan 308V-nya atau munculnya suara mendecit/mengerik pada trafo utama.



Main Rectifier (Penyearah Utama) yang terdiri dari VD503,VD504, VD505, VD506, C503,C504, C505, C506 dan C507. Setelah melalui rangkaian penyearah ini, tegangan 220VAC berubah menjadi tegangan 308V DC. VD503 – VD506  banyak dijumpai dalam bentuk Diode Bridge (dioda kotak 4 kaki).

3.Snubber Circuit



Jika diartikan secara harfiah, snubber=mencerca, memang sedikit salah kaprah, tapi sebenarnya memang tujuannya begitu. Pada sistem smps, trafo diswitch (diberi tegangan sesaat olah TR/FET final) dengan lama tertentu, kemudian TR/FET akan melepaskan (meng-off-kan) trafo. Ketika diberi tegangan, inti transformer menjadi magnet sesaat hingga trafo di-off-kan. Ketika trafo di-off-kan, trafo akan men-transform energi magnet ke lilitan sekunder hingga trafo di-on-kan lagi begitu seterusnya.
Tidak seluruh energi/magnet dalam trafo dapat dipindah semuanya (akibat tidak sempurnanya trafo=efisiensi trafo) mengakibatkan masih adanya magnet yang ‘ngendon’ di dalam inti trafo. Energi magnet yang ngendon tersebut secara langsung masuk ke TR/FET melalui kaki kolektor/drain dengan tegangan mungkin lebih tinggi dari kemampuan kerja tr/fet final. Fungsi utama dari snubber circuit adalah untuk menghilangkan/mengkonsletkan tegangan tersebut (mempercepat demagnetisasi). Selain itu, snubber juga dipakai untuk menentukan/mengadjust frekuensi kerja trafo. Karena sifat ‘mencerca’ kerja smps tersebut akhirnya disebut snubber circuit.
Ciri utama snubber circuit adalah tersusun dari kombinasi C dan R (dalam beberapa jenis terdapat dioda) yang dipasang secara paralel terhadap lilitan primer trafo.

4.Start Up Circuit

Di awal sudah disinggung bahwa smps menggunakan frekuensi kerja antara 30 s/d 40 KHz. Karena frekuensi tersebut tidak ditemukan pada tegangan DC, maka sistem smps harus membuat/menggenerasikan sendiri pulsa/denyut tersebut. Metode paling sering ditemukan adalah dengan metode self oscilating (osilasi sendiri). Pada jenis ini, rangkaian smps ibarat sebagai rangkaian osilator frekuensi daya tinggi. Tidak jarang juga ditemukan smps yang menggunakan IC untuk membuat pulsa tersebut, misalnya TDA8380, TEA2261, STR-group dll.
Dalam setiap sistem osilator, dibutuhkan tegangan awal/pemicu yang berfungsi sebagai pemicu awal rangkaian osilator untuk berosilasi. Tegangan pemicu ini muncul beberapa saat setelah smps mendapat tegangan masukan (AC in). Besar tegangan pemicu ini tergantung dari jenis rangkaian smps yang digunakan (contoh, pada STR-F665x osilator akan bekerja jika tegangan pemicu sudah mencapai 16V). Karena sifatnya hanya sebagai pemicu, tegangan ini tidak dipakai lagi ketika smps sudah bekerja. Pada umumnya, tegangan pemicu diambil dari 308V dengan melalui R atau transistor start up.


            R520 , R521 , R522 , dan R524 berlaku sebagai rangkaian Start UP circuit yang memberikan tegangan start up/pemicu yang cukup untuk menswitch Transistor final (main switcher) V513. Ketika V513 mendapatkan tegangan pemicu, V513 akan menswitch/mengkonsletkan lilitan primer trafo. Menswitch tidak secara konstan (hanya sesaat) karena rangkaian snubber (R525, C516) akan segera me-demagnetisasi trafo.
Karena trafo dengan segera ter-demagnetisasi, muncul tegangan induksi dari lilitan sekunder trafo ( Pin 1 dan  Pin 2). Tegangan dari Pin 1 menswitch V513 melalui VD517, C514 dan R519. Pada waktu yang bersamaan, tegangan pada  Pin 1 disearahkan oleh VD518  . Selanjutnya tegangan ini kita sebut saja Tegangan S1
Karena Transistor V513 kembali diswitch lagi, magnetisasi dan demagnetisasi berulang lagi dan seterusnya ( Berosilasi ). Komponen-komponen yang berperan dalam osilasi adalah C514 dan R519. Osilasi yang terjadi mempunyai bentuk pulsa yang tidak terkendali (semakin menyempit ukuran pulsanya karena efek magnetisasi dan demagnetisasi = tegangan output semakin mengecil). Untunglah ada S1 (tegangan dari Pin 1 yang telah disearahkan dan difilter).
Tegangan S1 tersebut dipakai untuk membuat tegangan referensi dengan menggunakan transistor V512, diode zener ZD519 dan resistor R523, dan dipakai untuk sensor utama tegangan output sekunder trafo.

5.Error Amp/Detector

Rangkaian Error Amp/detector berfungsi sebagai stabiliser tegangan output. Cara kerjanya adalah membandingkan tegangan output (diambil dari lilitan sekunder trafo) dengan tegangan referensi yang stabil. Jika tegangan output terlalu tinggi, rangkaian ini akan mengendalikan/memberitahu rangkaian primer/switching utama untuk segera menurunkan tegangan. Kunci dari AutoVoltage berada pada blok ini.
Tegangan sekunder yang dihasilkan dinaikkan dengan cara melebarkan pulsa, dan sebaliknya untuk menurunkan tegangan output dengan cara menyempitkan pulsa yang masuk ke switcher (penswitch=TR/FET final).
Jika Error Amp gagal/tidak ada, rangkaian smps akan ‘dipaksa’ untuk menswitch (mengkonsletkan) lilitan primer dengan lama yang melebihi kemampuan switcher, akibatnya TR/FET final akan rusak.
Lokasi rangkaian error amp dapat ditemukan di bagian primer (nyetrum/hot) atau bisa ditemukan di bagian sekunder (non hot area). Pada model-model smps terdahulu, sering dijumpai pada primer, pada smps yang lebih baru dapat dijumpai pada bagian sekunder (non hot area) dengan menggunakan optocoupler (mis. PC817, P721, P621 dll) sebagai lintasan sekaligus isolator rangkaian Error Amp. Sanken Error (SE090, SE115) merupakan IC error amp yang sering dipakai pada smps saat ini. SE090, SE110, SE115 dan SE lainnya merupakan buatan Sanken/Allegro Semiconductor.


Tegangan VS dimasukkan dalam rangkaian Error Amp (R511, R526, Dioda VD514, Transistor V511 dan V512). Cara kerja Error Amp ini adalah dengan membandingkan tegangan S1 dengan VREF (tegangan pada emitor Transistor V511) menggunakan V511. Jika VB lebih tinggi dari VE maka V511 tidak akan menghantar, akibatnya V513 tidak menghantar (dorongan/bias basis V513 dikurangi/diputus), sehingga V513 kembali ke posisi menyempitkan pulsa osilasinya. Akhirnya tegangan pada sekunder trafo akan turun. Sebaliknya, jika VB lebih rendah dari VE, V511 akan menghantarkan tegangan dari emitor (VREF) menuju ke kolektor, sehingga V512menjadi terdorong dan ‘menahan’ bias V513. Karena bias V513 sedikit tertahan, pulsa akan melebar dan akhirnya tegangan sekunder akan naik.

Untuk menghindari ‘penaikan otomatis’ secara berlebihan yang dilakukan oleh Error Amp, pada rangkaian tersebut dilengkapi dengan R517 dan D516 yang berfungsi sebagai Voltage Limiter (atau sering disebut Over Voltage Protection). Cara kerjanya adalah dengan cara membandingkan output dari error amp dengan pulsa negatif trafo.
Ketika beban meningkat, magnet dalam trafo akan lebih cepat terserap oleh beban, sehingga output sekunder menjadi turun. Ketika memasuki tahap ini, rangkaian Error Amp akan segera menyesuaikan dan mempertahan output dari smps, begitu juga sebaliknya.

6.Secondary Rectifier

Tegangan pada sekunder transformator bukan dalam bentuk AC, melainkan DC yang berbentuk pulsa. tegangan yang muncul pada sekunder trafo disearahkan dan difilter untuk menghasilkan tegangan DC sekunder. Karakteristik penyearah/dioda harus mempunyai berjenis fast rectifier. Misalnya UF4002 (bukan 1N4002). Fast rectifier dimaksudkan untuk mampu menyearahkan pulsa dengan frekuensi tinggi. Elko perata cukup menggunakan ukuran beberapa ratus uF, karena frekuensi tegangan yang keluar dari trafo cukup tinggi (tergantung frekuensi kerja smps).

Semoga dengan artikel ini Rekan Teknisi bisa lebih memahami mengenai cara kerja dari blok regulator atau power supply.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar